Kamis, 12 Mei 2011

Struktur kebahasaan dan jumlah surat yang ada dalam al-Quran

Seperti kita ketahui bahwa jika terdapat sedikit perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang al-Quran. Maka para orientalis akan segera mengisi ruang perbedaan tersebut dengan pendapat-pendapat yang sangat hina dan melecehkan al-Quran. Seperti perbedaan ulama dalam menetapkan jumlah surat dalam al-Quran. Menurut para ulama jumlah surat dalam al-Quran yaitu 114 dan ada juga yang mengatakan terdapat 113 surat, yaitu dengan menjadikan surat al-Anfal menjadi satu surat dengan bara’ah. Ephraem Malki, warga negara Jerman asal Lebanon, penganut fanatik Kristen (Syriac Orthodox) berpendapat bahwa al-Quran adalah kitab pedoman yang menyesatkan. Jika jumlah suratnya saja sudah tidak jelas, maka bagaimana dengan isi yang terkandung didalamnya?. Jauh dari pernyatannya tersebut, Ephraem tidak mempelajari lebih dalam kenapa perbedaan tersebut terjadi. Ada beberapa pendapat yang menyatakan alasan kenapa surat bara’ah tidak diawali dengan basmalah:



1. Menurut Al Mubarrad:
Isi surat at Taubah adalah pembatalan terhadap perjanjian antara Nabi dengan orang kafir Makkah. Nabi menyuruh kepada Ali Bin Abi Thalib dihadapan mereka tanpa diawali basmallah. Selain itu juga merujuk kepada tradisi bangsa Arab, jika terjadi pembatalan perjanjian antara dua kelompok yang sebelumnya mempunyai suatu perjanjian, maka surat pembatalan janji tersebut tidak diawali dengan basmallah.
2. Abu Asy-Syaikh dan Ibnu Mardawaih dari Ibn Abbas:
Ketika seseorang bertanya tentang alasan tidak dicantumkannya basmallah dalam surat at Taubah, Ali Bin Abi Thalib menjawab, bahwa basmallah adalah syarat perdamaian dan keamanan. Sedangkan surat ini turun dalam suasana perang.
3. Ibnu Abi Syaibah, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasai
Berdasarkan dialog yang terjadi antara Ibnu Abbas dan Utsman bin Affan, surat al-Anfal adalah surat madaniyah pertama, sedangkan surat at Tubah adalah surat madaniyah yang terakhir diturunkan. Tetapi terdapat kemiripan kisah-kisah yang terkandung di dalamnya sehingga Utsman mengira bahwa at Taubah adalah bagian dari surat al-Anfal. Tetapi sampai beliau wafat belum ada penjelasan tentang hal tersebut. Sehingga Utsman menggadengkan kedua surat tersebut tanpa dibatasi oleh basmallah.
4. Dari tafsir ruh-al ma’ani karya Al-Alusi jilid II hal 333
Terjadi perbedaan pendapat antara tim penulis pada masa Utsman. Apakah surat al- Anfal dan at Taubah itu satu surat ataukah dua surat. Maka diambillah jalan tengan dengan mengabungkan dua surat tersebut tanpa dibatasi oleh basmallah.
5. Al-Qusyairi
Jibril menurunkan surat at Taubah tanpa basmalah
Perbedaan penetapan jumlah surat dalam al-Quran sama sekali bukan karena al-Quran adalah kitab yang tidak jelas. Tapi lebih dari itu para ulama sangat berhati-hati dalam menentukan sesuatu yang berkenaan dengan al-Quran. Maka dalam penetapannyapun ulama mengumpulkan berbagai keterangan dan pendapat-pendapat para ulama salaf akan pandangannya terhadap al-Quran. Jikalaulah bukan karena hati-hati maka para ulama akan dengan mudah menyatakan bahwa surat dalam al-Quran berjumlah 113 atau 114 secara pasti. Tanpa harus mengungkapkan pendapat-penndapat yang lain.

Luxemburg menyebut dalam bukunya, bahwa dalam surat-surat al-Qur’an masih banyak kesalahan dalam kata-katanya sejumlah contoh. Menurutnya, kata “qaswarah” dalam Q.S. 74: 51 mestinya dibaca “qasuurah”. Lalu kata “sayyi’at ‘(Q.S. 4:18) mestinya dibaca “saniyyat” dari bahasa Syriac “sanyata. ” Juga kata “adhannaka” (Q.S. 41: 47) seharusnya dibaca “idh-dhaka”. Kemudian kata “utullin” (Q.S. 68: 13) mestinya dibaca ”alin”, sedangkan kata “zanim” dalam ayat yang sama harusnya dibaca “ratim ” sesuai dengan bahasa Syriac “rtim”. Begitu pula kata “muzjatin” (Q.S. 12: 88) mestinya di¬baca “murajjiyatin”, dari bahasa Syriac “mraggayta”. Seterusnya kata “yulhiduna” (Q.S. 16: 103) harusnya dibaca “yalghuzuuna” dari bahasa Syriac “igez”. Kemudian kata “tahtiha” (Q.S. 19: 24) mestinya dibaca sesuai dengan bahasa Syriac “nahiitihaa”. Adapun kata “saraban” (Q.S. 18: 61) harus¬nya dibaca menurut bahasa Syriac “syarya”.
Pembahasan yang lain yaitu, ia mengutak-atik surah al-’Alaq semata-mata dengan alasan bahwa isinya, sebagaimana surat al-Fatihah, diklaim diambil dari liturgi Kristen-Syria tentang jamuan makan malam terakhir Yesus.
Argumen Luxemburg bisa ditolak, sebab seluruh uraiannya dibangun atas asumsi-asumsi yang menyimpang.
1. Pertama, ia mengira al-Qur’an di¬baca berdasarkan tulisannya, sehingga ia boleh seenaknya berspekulasi tentang suatu bacaan.
2. Kedua, ia menganggap tulisan adalah segalanya, menganggap manuskrip sebagai patokan, sehingga suatu bacaan harus disesuaikan dengan dan mengacu pada teks.
3. Ketiga, ia menyamakan al-Qur’an dengan Bibel, di mana pembaca boleh mengubah dan mengutak-atik teks yang dibacanya bila dirasa tidak masuk akal atau sulit untuk dipahami. Ketiga asumsi ini dijadikan titik-tolak dan pondasi argumen-argumennya taken for granted, tanpa terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya.
Namun pendapat ini dikritik oleh seorang pakar semitistik dan direktur Orientalisches seminar di Universitas Frankfurt, Prof. Hans Daiber, dari sudut metodologi karya Luxemburg cukup bermasalah, karena itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam reviewnya atas buku Luxenberg, Daiber mengemukakan lima poin:
1. Semua ahli filologi yang mengkaji manuskrip Arab maklum bahwa seringkali suatu kata yang ditulis gundul tanpa baris/harakat dapat dibaca macam-macam, sehingga tulisan yang sama bisa dibaca berbeda, misalnya ‘banaat’. Ini bisa jadi tergantung konteksnya ataupun tergantung kehendak dan spekulasi sang pembaca. Dalam hal ini, Luxemburg memilih yang kedua. Lebih celaka lagi (ein gefaehrli-ches Spiel, kata Daiber) karena yang diutak-atik oleh Luxemburg bukan manuskrip gundul, melainkan kitab suci al-Qur’an yang sudah jelas dan disepakati seluruh bacaannya, adalah tidak bijak kalau Luxemburg bersikeras mau mengubah bacaan al-Qur’an.
2. Luxemburg bisa jadi keliru dalam berasumsi dan mengajukan pertanyaannya, bahwa mufassirun tidak bisa memahami kata-kata tertentu atau tidak bisa menjelaskan maksud ayat-ayat tertentu karena al-Qur’an berbahasa Syria. Bisa jadi sejumlah kosa-kata yang terdapat dalam Al-Qur’an asli bahasa Arab tetapi belakangan mengalami pergeseran makna sehingga para mufassir mengalami kesulitan dalam menerangkannya.
3. Andai kata memang sejumlah kosakata tersebut berasal dari bahasa Syriac, bukan tidak mungkin kata-kata asing tersebut telah diislamkan, telah ditukar atau diisi dengan makna baru (Zusaetliche Bedeutungen) yang lebih dalam, lebih tinggi, dan lebih luas dari makna asalnya.
4. Untuk mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg merujuk pada kamus bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8 Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna terbitan tahun 1900
5. Bisa jadi juga kosakata al-Qur’an memang bahasa Arab asli, tidak seperti yang dituduhkan oleh Luxemburg. Kalaupun ada kemiripan, maka itu hanya kebetulan saja. Sama halnya dengan kata “kepala” dalam bahasa Melayu-Indonesia yang mirip dengan kata “kefale” dalam bahasa Yunani Kuno (Ancient Greek). Kemiripan tidak mesti menunjukkan pengaruh atau pencurian. Sebagai contoh, Daiber menyebut antara lain kata-kata “fassala”, “jama’a”, “yassara”, “sayyara”, “mughadiban”, “daraba” dan “zawwaja” yang diklaim oleh Luxemburg telah dibaca keliru.

Diakhir pembahasan tentang pandangan orientalis ini, walaupun sebenarnya masih banyak pandangan-pandangan orientalis yang lainnya, penulis berpesan kepada para pembaca. Kiranya satu ayat ini sangat berguna jika dijadikan pedoman oleh umat Islam dalam meneguhkan keyakina n dalam hati dan menepis segala keraguan terhadap al-Quran. ولن ترضى عنك اليهودولا النصرى حتى تتبع ملتهم{البقرة:120}
Sangat jelas dituliskan dalam ayat ini bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak akan berhenti menghancurkan umat Islam sampai kita menjadi pengikutnya (Na’udzubillah min dzalik). Jadi sangat tidak pantas bagi umat Islam jika ia ragu terhadap al-Quran hanya karena mendengar atau membaca karangan-karangan para orientalis terhadap al-Quran. Justru sebagi umat Islam yang taat dalam beragama maka hendaknya kita selalu mencari jawaban atas pendapat-pendapat orientalis dan mengeluarkan pendapat-pendapat yang bisa menjunjung tinggi kebenaran al-Quran dan keagungan al-Quran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar