Sedih dan tragis jika membahas tentang sistem hukum yang ada di Indonesia, kerancuan akan makna dan nilai-nilai dalam perundang-undangan yang semakin hilang sedikit demi sedikit dan semakin menjauhi nilai-nilai kemanusiaan. Disebabkan karena tingkat komsumtifitas yang tinggi dalam pengambilan-pengambilan hukum dari Belanda, yang pada hakikatnya merupakan hukum Perancis, dan hukum Perancis sendiri berasal dari Yunani. Sudah barang tentu nilai dan makna dari hukum tersebut sangat bertentangan dengan kondisi sosial, budaya, dan latar belakang masyarakat Indonesia.
Tragisnya, rahasia umum yang telah mengakar di kalangan pakar hkum Indonesia ini belum menemukan titik temu. Jika kita kembali menelaah sejarah hukum Indonesia, akan dijelaskan oleh para tokoh hukum bahwa alasan dimasukkannya hukum Belanda sebagai dasar hukum di Indonesia adalah dalam rangka mengisi kekosongan hukum di Indonesia. Tepatnya setelah Indonesia mengikrarkan kemerdekannya. Sehingga hukum-hukum yang digunakan pada waktu itu murni mengambil dari hukum Belanda. Mungkin pernyataan diatas bisa kiterima, mengingat kondisi SDM yang kala itu belum memahami sistem hukum dan Indonesia juga masih dalam kondisi labil setelah beratus-ratus tahun dijajah oleh negara lain.
Tetapi jika kita kembali pada kondisi Indonesia saat ini, masih layakkah alasan kekosongan hukum itu menjadi tameng aktifkasi hukum Belanda? Tidakkah waktu 60 tahun ini(1945-2012) dengan Sumber Daya manusia yang konon diakui sebagi pakar hukum, guru besar hukum di Universitas ternama di Indoensia, yang tidak sedikit dari mereka mengaku sebagai sarjana hukum dari negara-negar besar seperti Amerika, Belanda, dan negara besar lain, tak mampu membuat sistem hukum murni di Indonesia yang legal, yang bebas dari adopsi hukum dari negara lain?
Pluralisme sistem hukum yang rancu ini bkan hanya menyusahkan rakyat hukum, tetapi juga akan menyebabkan ketidakpastian hukum di kalangan pejabat. Rakyat sebagai masyarakat yang buta hukum dan cenderung pasif, serta cenderung menerima produk hukum apa adanya tanpa adanya hak unutk menyerukan suaranya. DPR dan MPR yang konon katanya sebagai penyalur lidah masyarakat, secara fakta empiris hanya mengurusi kandangnya sendiri. Sehingga hukum yang ada sekarang hanya sekedar produk politik yaitu produk hukum dari pejabat dalam partai besar yang menguasai negraa saat itu, dengan memasukkan doktrin-doktrin partai dalam susunan perundang-undangan. Sehingga ketika pejabat itu sendiri terjebak dalam permaslahan hukum, maka dengan mudah mereka akan bersilat lidah lidah mencari celah untuk bebas dari jerat hukum.
Peleburan hukum adat, hukum agama dan hukum konvensional (Belanda) yang tak jarang bertantangan antar satu hukum enggan hukum yang lain menyebabkan sistem hukum Indonesia ini semakin tak karuan. Dalam pernikahan misalnya, ketika seornag perempuan menikah dalam usia 15 tahun, secara kebijakan hukum Perdata ia telah melangggar UU tersebut. Karena batas minimal pernikahan seseorang perempuan ketika usianya mencapai 19 tahun. Tetapi ketika kasus tersebut akan dibawa ke pengadilan tersangka menolak untuk dijerat pasal KUH Perdata dan juga KHI karena ia mengaku telah menikah denagn peraturan dan ketentuan agamanya (pertauran dalam agama Islam bahwa menikah boleh dilakukan ketika ia mencapai usia akil baligh). Sehingga KUH Perdata dan KHI tersebut tidak dihiraukan oleh pelaku tersebut.
Begitu juga dalam masalah pertanahan, seseorang mengaku memiliki hak penuh atas tanah denagn alasan peninggalan atau warisan nenek moyang. Sehingga mereka enggan untuk menyerahkan tanah tersebut pada pemerintah. Sedangkan dalam perundang-undangan konvensional, hak milik atas tanah harus diakui denagn surat resmi atau akta tanah.
Belum lagi jika terjadi konflik perundang-undangan, baik secara vertikal maupun horizontal. Jika dalam perundag-undangan terjadi konflik secara horizontal, maka kasus tersebut harus diselesaikan oleh Mahkamah Agung. Jika jumlah undang-undang konflik tersebut banyak, maka berapa ratus bahkan ribu kasus yang harus ditunda dan mengantri untuk diadili di Mahkamah Agung dikarenakan konflik ini? Dan dimanakah letak asas dalam peradilan yang diantranta efisiensi waktu, tempat, dan biaya, jika sebagian basar kasus tidak bisa diselesaikan oleh hakim di pengadilan tingkat daerah.
Ini hanyalah sekelimit permasalah hukum di negara ini, masih banyak permasalah lain yang membutuhkan perombakan dan pemikiran yang dalam, khusunya bagi para mahsisiwa/I hukum yang akan mengendalikan sistem hukum di negara ini lima atau sepuluh tahun yang akan datang. Yang dibutuhkan sekarang adalah sistem hukum yang terakomodir dalam satu payung kesatuan. Bukan berarti kita mengunggulkan satu perundang-undangan tertentu, tapi kita kombinasi perundang-undangan yang ada menjadi satu peraturan yang legal. Contohnya dalam peraturan perkawinan, menyatukan konsep perundang-undangan dari konvensional, agama, dan adat menjadi satu perundang-undangan yang umum dan menjadi rujukan masyarakat ketika akan menuju jenjang ini. Sehingga tidak ada masyarakat maupun aparat yang memainkan perundang-undangan. Bebaskan hukum kita dari campur tangan hukum Belanda, ciptakan sistem hukum yang benar-benar sesuai denagn nilai-nilai Bangsa Indonesia sesuai dengan UUD 1945.
Ini bukanlah pekerjaan yang mudah, tetapi ketika suatu saat usaha ini berhasil, maka akan membawa kontribusi positif yang sangat luar biasa bagi negara Indonesia di masa yang akan datang. Mungkin kita tidak merasakan keteraturan hukum dan efek positif dari usaha tersebut, tetapi setidak-tidaknya kita telah menoreh perjuangan perombakan positif dalam sistem hukum Indonesia. Dan pastinya akan dirasakan oleh anak cucu kita, dan untuk penduduk Indonesia di masa yang akan datang.